Rabu, 01 Juli 2015

TUGAS 4: Deskripsikan Tahapan Sampai Mengacu Menggunakan IFRS


Deskripsikan Tahapan Sampai Mengacu Menggunakan IFRS             
Globalisasi telah menjadikan dunia seakan-akan tanpa batas. Akses informasi dari satu negara ke negara yang lainnya dapat dilakukan dalam hitungan menit bahkan detik. Hal ini memungkinkan komunikasi yang intens diantara penduduk dunia (Global Citizen). Salah satu konsekuensi dari interaksi transnasional ini adalah diperlukannya suatu standarnisasi atau aturan umum yang dapat dipakai/dipraktekkan di seluruh dunia. Akuntansi tidak terlepas dari efek globalisasi. Serangkaian gerakan yang dimulai sejak 1973 telah dilakukan oleh International Accounting Standard Committee (IASC). IASC yang pada tahun 2001 berubah menjadi International Accounting Standard Board (IASB) bertujuan untuk mengembangkan suatu standar akuntansi yang berkualitas tinggi, dapat dipahami, dan diterapkan secara global diseluruh dunia.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi yang berwenang dalam membuat standar akuntansi di indonesia telah melakukan langkah-langkah penyeragaman standar akuntansi keuangan. Sejak tahun 1994 IAI telah melaksanakan program harmonisasi dan adaptasi standar akuntansi internasional dalam rangka pengembangan standard akuntansinya (SAK [2009]). Berdasarkan data perbandingan yang dilakukan oleh Osman Ramli Satrio dan Rekan terhadap PSAK per 1 Januari 2007 dan standar akuntansi internasional (IFRS dan US GAAP) diperoleh data bahwa dari 57 PSAK yang ada sebanyak 28 PSAK dikembangkan dari IFRS dan 20 PSAK dikembangkan dari US. GAAP sementara 8 PSAK dikembangkan sendiri oleh IAI. Lebih lanjut 1 PSAK mengenai syariah dikembangkan dari standard akuntansi yang dibuat oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan regulasi lokal yang relevan (Deloitte, 2007).
IAI pada Desember 2008 telah mengumumkan rencana konvergensi standar akuntansi lokalnya yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dengan International Financial Reporting Standards (IFRSs) yang merupakan produk dari IASB. Rencana pengkonvergensian ini direncanakan akan terealisasi pada tahun 2012.
Standar akuntansi di Indonesia saat ini belum menggunakan secara penuh (full adoption) standar akuntansi internasional atau International Financial Reporting Standard (IFRS). Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa pasal sudah mengadopsi IFRS yang sifatnya harmonisasi. Adopsi yang dilakukan Indonesia saat ini sifatnya belum menyeluruh, baru sebagian (harmonisasi).  Pengadopsian standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi, persyaratan akan item-item pengungkapan akan semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi pula, manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan, laporan keuangan perusahaan menghasilkan informasi yang lebih relevan dan akurat, dan laporan keuangan akan lebih dapat diperbandingkan dan menghasilkan informasi yang valid untuk aktiva, hutang, ekuitas, pendapatan dan beban perusahaan (Petreski, 2005).
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mencanangkan bahwa Standar akuntansi internasional (IFRS) akan mulai berlaku di Indonesia pada tahun 2012 secara keseluruhan atau full adoption (sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2009). Pada tahun 2012 tersebut diharapkan Indonesia sudah mengadopsi keseluruhan IFRS, sedangkan khusus untuk perbankan diharapkan tahun 2010.
Baskerville (2010) dalam Utami, et al. (2012) mengungkapkan bahwa konvergensi dapat berarti harmonisasi atau standardisasi, namun harmonisasi dalam konteks akuntansi dipandang sebagai suatu proses meningkatkan kesesuaian praktik akuntansi dengan menetapkan batas tingkat keberagaman. Jika dikaitkan dengan IFRS maka konvergensi dapat diartikan sebagai proses menyesuaikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terhadap IFRS.
Lembaga profesi akuntansi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan bahwa Indonesia melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012. Penerapan ini bertujuan agar daya informasi laporan keuangan dapat terus meningkat sehingga laporan keuangan dapat semakin mudah dipahami dan dapat dengan mudah digunakan baik bagi penyusun, auditor, maupun pembaca atau pengguna lain.
Dalam melakukan konvergensi IFRS, terdapat dua macam strategi adopsi, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh negara -negara maju. Sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara – negara berkembang seperti Indonesia.

Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:
1.     Tahap Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK,          persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku.
2.     Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
3.     Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.

Sumber :

TUGAS 3 : Sejarah Standar Akuntansi Keuangan Indonesia


SEJARAH STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN INDONESIA
Berikut adalah perkembangan standar akuntansi Indonesia mulai dari awal sampai dengan saat ini yang menuju konvergensi dengan IFRS (Sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2008).
  • di Indonesia selama dalam penjajahan Belanda, tidak ada standar Akuntansi yang dipakai. Indonesia memakai standar (Sound Business Practices) gaya Belanda.
  • sampai Thn. 1955 : Indonesia belum mempunyai undang – undang resmi / peraturan tentang standar keuangan.
  • Tahun. 1974 : Indonesia mengikuti standar Akuntansi Amerika yang dibuat oleh IAI yang disebut dengan prinsip Akuntansi.
  • Tahun. 1984 : Prinsip Akuntansi di Indonesia ditetapkan menjadi standar Akuntansi.
  • Akhir Tahun 1984 : Standar Akuntansi di Indonesia mengikuti standar yang bersumber dari IASC (International Accounting Standart Committee)
  • Sejak Tahun. 1994 : IAI sudah committed mengikuti IASC / IFRS.
  • Tahun 2008 : diharapkan perbedaan PSAK dengan IFRS akan dapat diselesaikan.
  • Tahun. 2012 : Ikut IFRS sepenuhnya?
Perkembangan Standar Akuntansi di Indonesia.
Adanya perubahan lingkungan global yang semakin menyatukan hampir seluruh negara di dunia dalam komunitas tunggal, yang dijembatani perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin murah, menuntut adanya transparansi di segala bidang. Standar akuntansi keuangan yang berkualitas merupakan salah satu prasarana penting untuk mewujudkan transparasi tersebut. Standar akuntansi keuangan dapat diibaratkan sebagai sebuah cermin, di mana cermin yang baik akan mampu menggambarkan kondisi praktis bisnis yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengembangan standar akuntansi keuangan yang baik, sangat relevan dan mutlak diperlukan pada masa sekarang ini.
Terkait hal tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai wadah profesi akuntansi di Indonesia selalu tanggap terhadap perkembangan yang terjadi, khususnya dalam hal-hal yang memengaruhi dunia usaha dan profesi akuntan. Hal ini dapat dilihat dari dinamika kegiatan pengembangan standar akuntansi sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga kini. Setidaknya, terdapat tiga tonggak sejarah dalam pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia.
Tonggak sejarah pertama, menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI melakukan kodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).”
Kemudian, tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikannya dalam buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia 1984” dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha.
Berikutnya pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan melakukan kodifikasi dalam buku ”Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1994.” Sejak tahun 1994, IAI juga telah memutuskan untuk melakukan harmonisasi dengan standar akuntansi internasional dalam pengembangan standarnya. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan dari harmonisasi ke adaptasi, kemudian menjadi adopsi dalam rangka konvergensi dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Program adopsi penuh dalam rangka mencapai konvergensi dengan IFRS direncanakan dapat terlaksana dalam beberapa tahun ke depan.
Dalam perkembangannya, standar akuntansi keuangan terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa berupa penyempurnaan maupun penambahan standar baru sejak tahun 1994. Proses revisi telah dilakukan enam kali, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1996, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, dan 1 September 2007. Buku ”Standar Akuntansi Keuangan per 1 September 2007” ini di dalamnya sudah bertambah dibandingkan revisi sebelumnya yaitu tambahan KDPPLK Syariah, 6 PSAK baru, dan 5 PSAK revisi. Secara garis besar, sekarang ini terdapat 2 KDPPLK, 62 PSAK, dan 7 ISAK.
Untuk dapat menghasilkan standar akuntansi keuangan yang baik, maka badan penyusunnya terus dikembangkan dan disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Awalnya, cikal bakal badan penyusun standar akuntansi adalah Panitia Penghimpunan Bahan-bahan dan Struktur dari GAAP dan GAAS yang dibentuk pada tahun 1973. Pada tahun 1974 dibentuk Komite Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) yang bertugas menyusun dan mengembangkan standar akuntansi keuangan. Komite PAI telah bertugas selama empat periode kepengurusan IAI sejak tahun 1974 hingga 1994 dengan susunan personel yang terus diperbarui. Selanjutnya, pada periode kepengurusan IAI tahun 1994-1998 nama Komite PAI diubah menjadi Komite Standar Akuntansi Keuangan (Komite SAK).
Kemudian, pada Kongres VIII IAI tanggal 23-24 September 1998 di Jakarta, Komite SAK diubah kembali menjadi Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan diberikan otonomi untuk menyusun dan mengesahkan PSAK dan ISAK. Selain itu, juga telah dibentuk Komite Akuntansi Syariah (KAS) dan Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK). Komite Akuntansi Syariah (KAS) dibentuk tanggal 18 Oktober 2005 untuk menopang kelancaran kegiatan penyusunan PSAK yang terkait dengan perlakuan akuntansi transaksi syariah yang dilakukan oleh DSAK. Sedangkan DKSAK yang anggotanya terdiri atas profesi akuntan dan luar profesi akuntan, yang mewakili para pengguna, merupakan mitra DSAK dalam merumuskan arah dan pengembangan SAK di Indonesia.
Ada juga pendapat yang lain mengtakan bahwa perkembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia yang terbaru mengadopsi IFRS ke PSAK, kronologis kejadian dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut :
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) telah membentuk Komite Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia untuk menetapkan standar-standar akuntansi, yang kemudian dikenal dengan Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia (PAI). (Terjadi pada periode 1973-1984)
Komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian menerbitkan Prinsip Akuntansi Indonesia 1984 (PAI 1984). Menjelang akhir 1994, Komite standar akuntansi memulai suatu revisi besar atas prinsip-prinsip akuntansi Indonesia dengan mengumumkan pernyataan-pernyataan standar akuntansi tambahan dan menerbitkan interpretasi atas standar tersebut. Revisi tersebut menghasilkan 35 pernyataan standar akuntansi keuangan, yang sebagian besar harmonis dengan IAS yang dikeluarkan oleh IASB. (Terjadi pada periode 1984-1994)
Ada perubahan Kiblat dari US GAAP ke IFRS, hal ini ditunjukkan Sejak tahun 1994, telah menjadi kebijakan dari Komite Standar Akuntansi Keuangan untuk menggunakan International Accounting Standards sebagai dasar untuk membangun standar akuntansi keuangan Indonesia. Dan pada tahun 1995, IAI melakukan revisi besar untuk menerapkan standar-standar akuntansi baru, yang kebanyakan konsisten dengan IAS. Beberapa standar diadopsi dari US GAAP dan lainnya dibuat sendiri. (Terjadi pada periode 1994-2004).
Merupakan konvergensi IFRS Tahap 1, Sejak tahun 1995 sampai tahun 2010, buku Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa penyempurnaan maupun penambahan standar baru. Proses revisi dilakukan sebanyak enam kali yakni pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, 1 Juni 2006, 1 September 2007, dan versi 1 Juli 2009. Pada tahun 2006 dalam kongres IAI (Cek Lagi nanti) X di Jakarta ditetapkan bahwa konvergensi penuh IFRS akan diselesaikan pada tahun 2008. Target ketika itu adalah taat penuh dengan semua standar IFRS pada tahun 2008. Namun dalam perjalanannya ternyata tidak mudah. Sampai akhir tahun 2008 jumlah IFRS yang diadopsi baru mencapai 10 standar IFRS dari total 33 standar. (terjadi pada periode 2006-2008)
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) adalah organisasi profesi akuntan yang juga merupakan badan yang menyusun standar akuntansi di Indonesia. Organisasi profesi ini terus berusaha menanggapi perkembangan akuntansi keuangan yang terjadi baik tingkat nasional, regional maupun global, khususnya yang mempengaruhi dunia usaha dan profesi akuntansi sendiri. Perkembangan akuntansi keuangan sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga kini perkembangan standar akuntansi ini dilakukan secara terus menerus, pada tahun 1973 terbentuk Panitia Penghimpunan Bahan-bahan dan Struktur GAAP dan GAAS. Kemudian pada tahun 1974 dibentuk Komite Prinsip Akuntansi Indonesia (Komite PAI) yang bertugas menyusun standar keuangan. Komite PAI telah bertugas selama empat periode kepengurusan IAI sejak tahun 1974 hingga 1994 dengan susunan personel yang selalu diperbarui. Selanjutnya, pada periode kepengurusan IAI tahun 1994-1998 nama Komite PAI diubah menjadi Komite Standar Akuntansi Keuangan (Komite SAK), kemudian pada kongres VIII, tanggal 23-24 September 1998 di Jakarta, Komite SAK diubah menjadi Dewan Standar Akuntansi Keuangan untuk masa bakti 1998-2000 dan diberikan otonomi untuk menyusun dan mengesahkan PSAK.

Sejak IAI berdiri telah dihasilkan tiga standar akuntansi keuangan sebagai berikut.
1.     Pada tahun 1973 untuk pertama kali IAI menerbitkan suatu buku Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) yang sebagian besar merupakan terjemahan buku Paul Grady. Penerbitan ini dipicu oleh diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973.
2.     Pada tahun 1984 buku Prinsip Akuntansi Indonesia 1984 yang menggantikan PAI 1973 diterbitkan. Komite PAI melakukan revisi secara mendasar terhadap PAI 1973.
3.     Pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total pada PAI 1984 dan sejak itu mengeluarkan serial standar keuangan yang diberi nama Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitken sejak 1 Oktober 1994. Perkembangan standar akuntansi ketiga ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha dan profesi akuntansi dalam rangka mengikuti dan mengantisipasi perkembangan internasional. Banyak standar yang dikeluarkan itu sesuai atau sama dengan standar akuntansi internasional yang dikeluarkan oleh IASC.
Sekarang ini ada dua PSAK yang dikeluarkan oleh 2 Dewan Standar Akuntansi Keuangan.
1.     PSAK Konvensional
2.     PSAK Syariah
PSAK ini tentu akan terus bertambah dan revisi sesuai kebutuhan perkembangan bisnis dan profesi akuntan.

Sumber :

Rabu, 06 Mei 2015

BRANCLESS BANKING

BRANCLESS BANKING

Branchless Banking merupakan kegiatan pemberian jasa layanan sistem pembayaran dan keuangan terbatas yang dilakukan tidak melalui kantor fisik bank, namun dengan menggunakan sarana teknologi dan/atau jasa pihak ketiga terutama untuk melayani masyarakat yang belum terlayani jasa keuangan/unbanked. Layanan keuangan yang diberikan melalui branchless banking ini merupakan layanan sistem pembayaran dan perbankan terbatas yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan ekonomi masyarakat unbanked dan underbanked, seperti pengiriman uang, menyimpan kelebihan pendapatan, dan memperoleh tambahan dana untuk pembiayaan usaha produktif. Secara umum karakteristik masyarakat yang menjadi target dalam kerangka branchless banking yakni memiliki pendapatan relative kecil, pemahaman terhadap sistem keuangan yang kurang, dan tidak/kurang memiliki pengalaman dalam menggunakan jasa/produk perbankan.
Istilah Branchless Banking sebagai kegiatan layanan transaksi bank dengan kriteria sebagai berikut :
1.      Tanpa melalui kantor cabang bank
2.      Menggunakan agen yang bekerjasama dengan bank
3.      Nasabah bisa melakukan transaksi sendiri atau menggunakan agen
4.      Fitur transaksi yang sederhana/basic feature
5.      Layanan murah/low cost transaction
6.      Ditujukan khususnya untuk segmen bawahan atau unbanked

Branchless Banking sebagai salah satu bentuk inisiatif financial inclusion  sangat membantu untuk memajukan  perekonomian suatu negara melalui peningkatan akses masyarakat terhadap jasa layanan bank sehingga ultimate goal bank sebagai unit usaha pembiayaan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Regional
Kendala yang dihadapi dalam memperluas inklusi keuangan secara umum dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yakni kendala yang dihadapi masyarakat dan kendala yang dihadapi oleh lembaga keuangan. Dalam hal menabung, kendala yang dihadapi masyarakat yakni tingkat pemahaman terhadap pengelolaan keuangan yang masih kurang dan biaya pembukaan rekening serta biaya administrasi yang bagi sebagian masyarakat dinilai cukup memberatkan. Sementara dalam hal meminjam hambatan yang dihadapi masyarakat diantaranya adalah pemenuhan persyaratan aspek legal formal usaha yang dimiliki, kurangnya informasi tentang produk perbankan, atau produk yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Adapun kendala di tingkat lembaga keuangan diantaranya adalah keterbatasan cakupan wilayah dan memperluas jaringan kantor, kurangnya informasi mengenai nasabah potensial, dan terbatasnya informasi mengenai keuangan konsumen. Disisi lain untuk menambah jaringan kantor di daerah terpencil, bank dihadapkan pada persoalan biaya pendirian yang relatif mahal. Branchless banking diharapkan dapat menjembatani kendala tersebut untuk mendekatkan layanan perbankan kepada masyarakat khususnya yang jauh dari kantor bank. Dalam upaya mewujudkan keuangan inklusif Bank Indonesia telah menetapkan enam pilar strategi yang meliputi edukasi keuangan, fasilitas keuangan publik, pemetaan informasi keuangan, kebijakan, fasilitasi intermediasi dan saluran distribusi serta perlindungan konsumen. Dalam implementasi 6 pilar tersebut, peran perbankan yang menguasai sekitar 80% dari industri keuangan di Indonesia sangat diharapkan khususnya dalam membangun layanan keuangan yang bisa dinikmati oleh lebih banyak masyarakat. Salah satu program yang ditempuh oleh Bank Indonesia pada pilar pengembangan saluran distribusi adalah Branchless Banking.

Sementara itu, dalam konteks Indonesia, branchless banking merupakan hal baru bagi industri perbankan di Indonesia. Oleh karena itu, implementasi branchless banking perlu dilakukan secara hati-hati mengingat implementasi perluasan layanan perbankan melalui UPLK dan teknologi dapat meningkatkan risiko, khususnya risiko operasional, risiko hukum dan risiko reputasi bagi bank dan perusahaan telekomunikasi. Melalui uji coba/pilot project branchless banking diharapkan dapat diperoleh model bisnis yang sesuai dan hambatan serta risiko yang dihadapi oleh para pihak yang terlibat. Adapun keseluruhan implementasinya dilakukan secara bertahap mulai dari penerbitan pedoman (guiding principles), uji coba, evaluasi menyeluruh, dan implementasi secara penuh melalui penerbitan ketentuan branchless banking.

Branchless banking ampuh mengatasi kondisi geografis karena strategi distribusi kanal layanan bank ini tidak menggantungkan diri pada eksistensi kantor cabang bank. Contoh teknologi untuk branchless banking seperti, internet, telepon selular, automated teller machine (ATM), perangkat point of sales (POS), dan perangkat electronic funds transfer at POS (EFTPOS).
Layanan branchless ini pun akan makin terdorong ke jalur mainstream bila melihat tingkat keakraban masyarakat indonesia dengan perangkat mobile, misalnya komputer tablet dan smartphone. Ini adalah sebuah peluang menarik bagi bank untuk meluaskan layanan-layanan branchless yang sifatnya mandiri (self-service banking), seperti mobile dan internet banking.
Sebuah simbiosis mutualisme, saat layanan branchless dan self-service banking mendatangkan manfaat bagi kedua belah pihak. Nasabah di untungkan melalui kemudahan dan kecepatan transaksi berkat tersedianya berbagai pilihan layanan dari bank. Pihak bank pun menuai manfaat berupa pertumbuhan transaksi, kemudahan pengembangan jaringan perbankan, terdorongnya efisiensi, dan peningkatan loyalitas pelanggan.
Bank Central Asia konsep perbankan tanpa kantor cabang atau branchless banking terkendala aturan bank yang mengharuskan bank tahu riwayat nasabah (know your costumer(KYC). Aturan bank tanpa kantor cabang ini harus dimatangkan karena pelaksanaannya dinilai akan sangat sulit.
"Pemikirannya benar matang untuk keberhasilannya kedepan. Banyak hal perlu dipikirkan untuk branchless ya. Branchless itu medianya apa? Kartu dan HP ya," ujar Presiden Direktur Bank Central Asia Jahja Setiaatmadja di Menara BCA.
Dia mengatakan perbankan bertemu nasabahnya minimal satu kali saat pembukaan rekening. ATM dan dan penggunaan ADC di toko yang tujuannya untuk memudahkan nasabah bertransaksi perbankan sudah merupakan bagian dari branchless banking. "Pengertian branchless banking, nasabah itu tidak usah datang secara fisik waktu buka rekening secara otomatis, ini yang harus pemikirannya benar-benar matang," ujarnya.

Bank Indonesia berencana mengeluarkan aturan branchless banking dengan melihat pada hasil survei bank dunia pada tahun 2007 menyatakan bahwa sekitar 48 persen dari keseluruhan rumah tangga di Indonesia tidak memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Lembaga penyedia jasa keuangan di Indonesia hanya mampu melayani sekitar 31 persen masyarakat, dan masih terdapat 17 persen masyarakat yang hidup tanpa layanan jasa keuangan.
BI menilai konsep branchless banking menjadi satu solusi untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah yang terpencil, karena dengan branchless banking (BB) distribusi untuk memberikan jasa keuangan bisa dilakukan tanpa mengandalkan keberadaan kantor cabang bank.

Global
Di dunia internasional, khususnya di emerging market, praktek branchless banking bukanlah hal baru. Dari berbagai studi literatur tercatat lebih dari 100 (seratus) negara, seperti Malaysia, India, Filipina, Kenya, Pakistan, dan Mexico, yang mengimplementasikan branchless banking.
Dengan kemajuan di bidang keuangan, pendidikan, teknologi, dan obat-obatan, negara-negara berkembang merasa kebutuhan yang berkembang untuk datang sejajar dengan dunia. Ekonomi global saat ini sangat saling tergantung, dimana kondisi ekonomi suatu daerah, oleh dan besar, mempengaruhi kesehatan ekonomi daerah-menciptakan efek riak lainnya.
Negara-negara berkembang harus meningkatkan dan melakukan segala daya mereka untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka, daripada tergantung pada negara-negara maju untuk membantu melalui mentransfer bantuan dan teknologi. Perantara keuangan, khususnya perbankan, menentukan kemakmuran ekonomi suatu bangsa. Sebuah sistem perbankan yang sehat, oleh karena itu, adalah apa yang diperlukan untuk suatu negara untuk maju di dunia saat ini. Sementara sebagian besar negara-negara maju menikmati manfaat dari berbagai jasa keuangan yang ditawarkan melalui banyak media yang mudah diakses, ada potensi pasar tak memiliki rekening bank di negara-negara berkembang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prospek ekonomi secara keseluruhan negara-negara ini.
Salah satu pilihan untuk menjangkau segmen belum terjangkau masyarakat adalah melalui pembentukan cabang-cabang bank fisik di wilayah geografis terlayani ini, bagaimanapun, menantang gagasan melayani kelompok berpenghasilan rendah biaya-efektif. Di negara-negara, bank dan operator seluler berkembang dapat berkolaborasi pada usaha patungan untuk mengembangkan sistem mobile banking yang sehat dan membangun branchless banking (menggunakan toko ritel, kantor pos, dan pompa bensin sebagai agen mereka) untuk mengakses area yang sulit dijangkau, karena kekhawatiran geografis atau politik.
Idealnya, mobile banking dapat dimanfaatkan untuk mengurangi biaya operasi, meningkatkan efisiensi, dan menyebabkan mekanisme pengiriman baru dan model bisnis. Menurut State Bank of Pakistan, saluran pengiriman alternatif mengandalkan solusi teknologi dan jaringan agen untuk mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan akses keuangan. Secara khusus, ponsel dianggap alat yang paling layak untuk melayani tujuan ini, sebagai pengguna ponsel adalah empat kali jumlah pemegang rekening sistem perbankan formal di Pakistan.
Teknologi memainkan peran penting dalam mengembangkan kerjasama aktif antara bank dan perbankan-agen, mulai dari penyedia layanan telekomunikasi bergerak ke agen toko ritel, yang tidak layak sebelumnya. Kerjasama ini dapat membantu memberikan layanan kepada pelanggan di daerah yang baik jauh atau sulit diakses.
Branchless banking, yang memanfaatkan teknologi mobile, bisa sangat sukses dalam skenario seperti itu, karena menggunakan ponsel tidak memerlukan melek tinggi dan pelatihan formal bagi penggunanya. Juga, dengan kompetisi cut-tenggorokan di industri ponsel, harga telah menurun secara substansial, membuat komunikasi seluler lebih terjangkau untuk kelompok berpenghasilan rendah dari masyarakat. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang, segmen besar dari populasi (termasuk orang-orang dengan tingkat melek huruf yang rendah) yang saat ini memiliki ponsel tetapi tidak memiliki rekening bank, pasti akan tertarik dengan peluang branchless banking dan, karena itu akan menjadi bagian dari sistem perbankan formal.
Potensi mobile banking tidak hanya terbatas untuk melayani sebagai saluran pengiriman untuk fasilitasi pembayaran.WAP baru dan ponsel Java dengan GPRS mendukung lebih banyak jenis layanan perbankan, seperti transfer dana antar rekening, perdagangan saham, dan konfirmasi pembayaran langsung melalui browser mikro telepon.
Ada fasilitas mobile banking terutama digunakan untuk hanya tujuan pembayaran dan mentransfer dan bukan untuk kredit dan tabungan; ini tidak cukup untuk meningkatkan perekonomian secara maksimal. 


Kelompok Konsultatif untuk Membantu Masyarakat Miskin (CGAP) hari ini mengumumkan bahwa mereka diberikan hampir $ 900.000 untuk mendukung tiga proyek yang bertujuan menjangkau orang-orang tak memiliki rekening bank di Afrika Barat Ekonomi dan Moneter Uni (WAEMU) dengan berbagai terjangkau , jasa keuangan yang efisien dan berharga.
The CGAP Branchless Banking Challenge Fund, dalam kemitraan dengan The MasterCard Foundation, diberikan dana untuk tiga organisasi: Advans Cote d'Ivoire (CI), MFS Afrika, dan MoneyExpress.
Proyek-proyek yang sudah berlangsung, dipilih dari 34 jumlah proposal yang diajukan ke The Challenge Fund, yang berusaha untuk menumbuhkan industri perbankan branchless baik informasi di WAEMU. Meskipun kemajuan penting, wilayah ini masih menghadapi kendala seperti jaringan distribusi terbelakang, kurangnya aktivasi pelanggan, dan penawaran produk yang tidak memadai.
·         Dalam Cote d'Ivoire, Advans Cote d'Ivoire akan mengembangkan solusi branchless banking disesuaikan dengan koperasi kakao dan petani.Tujuannya adalah untuk melakukan pembayaran kepada koperasi dan produsen lebih aman untuk mengurangi risiko arus fisik kas. Ini juga akan menciptakan peluang untuk menghubungkan petani untuk jasa keuangan yang ditawarkan oleh Advans-CI.
·         Dalam Cote d'Ivoire dan Benin, MFS Afrika akan meluncurkan produk mikro-kredit disebut pinjaman mjara yang akan memberikan klien akses ke pinjaman dijamin berdasarkan nilai kredit yang berasal dari sejarah klien dengan transaksi uang mobile, produk keuangan lainnya, pendapatan, alamat, dan informasi demografis lainnya. Pinjaman mjaraakan membangun off solusi mobile wallet di Cote d'Ivoire dan Benin dan akan disampaikan dalam kemitraan dengan lembaga-lembaga keuangan.
·         Di Senegal, Money Express akan meluncurkan NAFA platform mobile banking memungkinkan pelanggan untuk membayar tagihan, pembelian barang dan jasa, mengirim uang, dan dana toko. Solusi ini akan memungkinkan Money Express untuk meningkatkan basis klien besar dari yang ada bisnis pengiriman uang, dan untuk menawarkan klien kesempatan untuk membuka rekening bank dengan LKM diberikan afiliasi dengan Chaka Grup .
"Proyek-proyek yang didukung oleh dana tantangan ini adalah kesempatan yang baik untuk mendukung dan inovasi kekuasaan dalam ekosistem branchless banking yang berubah dengan cepat," catatan Estelle Lahaye,manajer proyek branchless banking WAEMU di CGAP. "Kami juga gembira tentang potensi pembelajaran proyek ini menawarkan untuk pengembangan pasar lebih di wilayah WAEMU."


Sumber :